Maaf jika judul dari artikel ini agak kasar penulisannya. Setiap menginjak bulan-bulan paceklik sekitar September-Januari harga gabah dan beras sangat mahal. Hal ini bisa kita maklumi karena hampir diseluruh Indonesia tidak ada petani yang panen kecuali untuk daerah pegunungan yang notabene tidak pernah ada kata tanam serempak. Pada bulan-bulan tersebut stok beras sangatlah tipis sehingga harga beras akan melambung tinggi.
Dengan melambungnya harga beras dan gabah seharusnya pihak yang paling diuntungkan adalah petani, karena petani adalah satu-satunya produsen gabah dan beras dinegeri ini.
Namun sayang sekali kenaikan harga beras dan gabah tersebut tidak bisa dinikmati oleh petani kita yang selama empat bulan telah bekerja keras untuk memproduksi beras. Justru kenaikan harga gabah dan beras akan dinikmati oleh para tengkulak, pedagang dan penimbun gabah.
Kenapa demikian?
Ketika bulan-bulan September-Januari harga beras melambung apakah petani masih memiliki stok beras digudangnya? ternyata tidak. Mereka harus membeli beras lagi untuk memenuhi kebutuhan makan mereka.
Sungguh sangat ironis, para petani harus membeli hasil panen mereka sendiri dengan harga yang lebih mahal dengan harga jual mereka.
Ada pola pikir yang perlu dirubah oleh petani-petani kita, yaitu kebiasaan menjual semua hasil panen (gabah) mereka. Apalagi menjual hasil panen dengan cara tebasan, ini benar-benar akan merugikan bagi petani itu sendiri. Namun dua hal tersebut diatas masih sering dilakukan oleh sebagian besar petani-petani Indonesia.
Coba kalau kita mau sedikit memperhatikan siklus harga beras dalam setahun, pasti kita akan menemukan bulan-bulan paceklik dimana harga gabah dan beras akan melambung tinggi. Kita sebagai petani harus bisa memanfaatkan perbedaan harga gabah dan beras yang cukup signifikan tersebut. Saat-saat tersebut seharusnya waktu yang ditunggu-tunggu petani untuk menjual hasil panennya. Namun sayang kesempatan tersebut belum bisa dimanfatkan maksimal oleh petani.
Sepertinya keberadaan lumbung padi perlu diaktifkan lagi. Budaya menyimpan gabah ketika panen raya dan menjual gabah ketika paceklik sudah terkikis. Sangat jarang kita temukan lumbung-lumbung padi di desa, jikalau ada hanyalah lumbung kosong yang telah lapuk dimakan jaman.
Alangkah ironisnya budaya bangsa kita yang begitu luhur telah disia-siakan dan telah terlupakan. Petani lebih menyukai menyimpan hasil panen dalam bentuk uang daripada berbentuk gabah. Lebih tragis lagi ada petani yang lebih menyukai menggunakan hasil panen untuk membeli barang-barang yang sifatnya consumtif belaka dan kurang bermanfaat.
Untuk mengatasi kondisi keuangan petani-petani yang benar-benar miskin (sekali panen habis untuk membayar hutang selama masa tanam) pemerintah perlu mengadakan dana talangan untuk meminjamkan uang kepada petani dengan jaminan gabah mereka. Setelah tiba masa paceklik gabah tersebut dijual dan keuntungan dikembalikan kepada petani.
Ada pembaca yang mau menambahkan solusi ataupun saran untuk mengatasi permasalah masa paceklik yang dialami petani? Silahkan tuliskan dikolom komentar dibawah ini.
Semoga bisa memberi manfaat sedikit tulisan saya tentang “harga beras mahal siapa yang paling untung (tips mengatasi paceklik)
-maspary-
1 komentar:
jalan keluarnya gmn?
Posting Komentar