Sudah berlalu 30 tahun pembangunan pertanian namun teknologi pertanian Indonesia tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian (Perteta) Sam Herodian, hal itu bisa dicontohkan secara sederhana dengan adanya realitas bahwa sebuah traktor tangan masih dipakai untuk 500 orang petani. Sementara di Vietnam, traktor tangan sudah dipakai untuk 20 orang petani. Makanya mereka lebih maju daripada kita.
Di Indonesia, traktor masih bersaing dengan penggunaan sapi dan tangan manusia alias aktifitas mencangkul. Bahkan fakta di lapangan sungguh memprihatinkan. Bantuan pemerintah, semisal peralatan pertanian, sayangnya tidak digunakan di daerah-daerah. Hal ini menunjukkan pola yang sama bahwa pola bantuan pemerintah hanyalah sia-sia belaka, karena tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Meskipun begitu, bantuan pemerintah yang cukup berarti yang tetap dilakukan pemerintah hingga saat ini adalah berupa input kimia dan biologi, yakni pupuk dan benih.
Hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Jepang. Hanya saja pemerintah Jepang menggelontorkannya sebelum meletusnya Perang Dunia II. Sedangkan Indonesia terlambat, sehingga mimpi untuk maju pantas dibuang jauh-jauh jika infrastruktur, yang jelas-jelas sebagai syarat menggapai kemajuan, belum tersentuh. Bantuan pemerintah berupa subsidi pupuk yang mencapai angka 18 triliun pun belum bisa dikatakan tepat sasaran. Angka itu pun relatif kecil, karena hanya kuat untuk membeli beras 3 juta ton.
Sebenarnya lebih tepat, kalau subsidi itu diganti subsidi output, yakni dengan cara membeli gabah petani sebagaimana diterapkan di Jepang. Sudah saatnya Indonesia memikirkan bagaimana membuat input teknologi yang memadai dan menguntungkan. Sehingga kita tidak gamang ketika melangkah. Memang sudah saatnya kita menuju kesana! Menurut Mentan sebagaimana dibacakan oleh salah seorang staf ahlinya, Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS.
ketahanan pangan nasional kita kian memprihatinkan. Pertumbuhan permintaan pangan lebih cepat daripada pertumbuhan penyediaannya akibat peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, serta daya beli dan perubahan selera masyarakat. Sedangkan permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan energi di Indonesia meliputi tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar fosil padahal makin langka dan mahal, terbatasnya penyediaan energi alternatif terbarukan yang siap dikonsumsi, terbatasnya teknologi dan prasarana baik untuk pengolahan bahan maupun untuk pemanfaatan energi terbarukan yang siap dikonsumsi, mahalnya biaya produksi sebagian besar energi alternatif, rendahnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan energi alternatif terbarukan.
0 komentar:
Posting Komentar